WP 80 – Kisah anak yang penyakitan

Pas jaman penjajahan, di Bandung  lahirlah seorang anak laki-laki di keluarga kelas  menengah. Dia merupakan anak ke 6 dari yang nantinya 11 anak. Waktu dia lahir seorang dari 2 abangnya meninggal sewaktu masih bayi karena tetanus, akibat penanganan dukun beranak yang sembrono.

Begitu masuk jaman Jepang dia disekolahkan di  Sekolah Rakyat yang sekarang bernama Sekolah Dasar. Waktu itu semua anak laki-laki harus dibotaki kepalanya, pertanda patuh pada Jepang, yang menamakan dirinya Saudara Tua. Tapi karena itu anak penyakitan, maka dia dapat dispensasi. Tentunya ini bikin kawan-kawan sekolahnya menjadi iri. Pada suatu hari si anak yang kurus kering karena penyakitan dan mungkin juga kurang gizi, terpaksa berkelahi sama teman sekelasnya untuk membela harga diri sebagai insan yang tidak botak. Hasilnya adalah hidung yang berdarah, yang meski setengah jam dibersihkan di bawah aliran air keran, tidak berhenti juga. Karena guru ikut panik, maka itu anak disuruhnya pulang.

Sesampainya di rumah setelah berjalan kaki sepanjang 5 km, akhirnya perdarahan berhenti, meski baju jadi merah. Akibatnya adalah demam berkepanjangan diselingi perdarahan dari hidung pada malam hari. Ketika pada suatu hari dibawa ke dokter naik delman, itu anak muntah-muntah mengeluarkan darah sebesar roti manis sebanyak 3 buah.

Setelah diobati sama dokter, orangtuanya dinasehati agar jaga baik-baik itu anak, karena umurnya mungkin tidak panjang. Jadi tidak boleh olahraga, tigak boleh cape-cape dan macam-macam larangannya. Jadi setelah peritiwa di sekolah, itu anak tidak masuk sekolah lagi karena penyakitnya hilang timbul. Meskipun begitu, dia tidak mau kalah sama kawan-kawan sekolahnya. Itulah kenapa ketika SMA terpaksa dia nyuri-nyuri ikut berenang, dan ketika ditanya ibunya kenapa matanya merah, jawabnya: “Kena debu!”

Beberapa bulan setelah Jepang nyerah, itu anak disekolahkan di Lagere School, yang artinya Sekolah Rendah, setara Sekolah Dasar. Tapi karena kebanyakan murid merupakan anak-anak Belanda yang tertinggal sekolah, maka setiap ½ tahun ada kenaikan kelas, sehingga Lagere School itu selesai ditempuh dari tahun 1947 sampai 1950. Kawan karibnya pada waktu itu adalah seorang anak Cina, yang juga tidak bisa berbahasa Belanda. Tapi dari semula tidak ngerti Bahasa Belanda, selesai sekolah di Lagere School, itu anak Bahasa Belandanya lebih fasih dari pada anak Belanda sendiri.

Sementara waktu pun berlalu………………….

Begitu masuk SMA dia sempat jadi adik kelasnya alm. Ibu Ainun Habibie. Di sekolah itu kebanyakan guru adalah mahasiswa yang perlu duit. Umumnya mereka ngajarnya bagus, kecuali seorang guru kimia. Gak heran kalo itu anak di ijazahnya dapat angka 5 buat mata pelajaran  kimia. Cita-citanya sih jadi insinyur kayak Bung Karno. Tapi sialnya pada tahun 1956 ujian SMA di Bandung  bocor 2 kali hingga harus 3 kali ikut ujian. Untuk menghilangkan lelah dia dari Bandung main-main ke Jakarta dan hampir setiap hari mancing di Cilincing. Tau-taunya pendaftaran ke semua perguruan tinggi sudah tutup, tinggal di Kedokteran dan Pertanian saja.

Untung bisa diterima di Fakultas Kedokteran UI. Tapi dasar sial, dosen ilmu kimia sama parahnya kaya guru kimia di SMA. Akibatnya tahun pertama dia jebol. Selama satu bulan pulang ke Bandung, dia kena omel terus sama ibunya, karena dibanding kakak-kakanya, sebetulnya dia sekolahnya paling lancar. Terpikir untuk pindah ke ITB. Tapi setelah pikr-pikir bahwa seorang dokter bisa saja punya hobi dalam bidang teknik, tapi seorang insinyur bisa masuk penjara kalo punya hobi dalam bidang medis, dia putuskan untuk terus saja jadi dokter. Que sera,sera. Pokoknya kudu tambah semangat!

Untung ketika masuk kuliah kembali, semua staf pengajar diganti oleh tenaga dari University of California. Meski semua mata pelajaran diberikan dalam Bahasa Inggris, nilai buat ilmu kimianya bisa mencapai yang top di kelasnya. Berarti tidak ada murid yang bodoh. Yang ada adalah guru yang goblok. He he he!  Sorry pak / bu guru yang murid-muridnya bodoh!

Tahun 1963 pada usia 25 tahun dia lulus dari FKUI, dan pas pada hari ini usianya masuk ¾ abad. Meskipun bahagia sudah bisa mencapai usia lanjut, tapi dia sadar bahwa sisa hidupnya makin berkurang. Tapi semoga sisa hidupnya masih bisa berguna buat orang lain.

Anda mau tahu siapa anak itu? Coba terka!

38 thoughts on “WP 80 – Kisah anak yang penyakitan

  1. selamat hari lahir, eyang 🙂 semoga sehat selalu dan makin semangat nulis lebih banyak resep kue di blog ini (eh?) hehe…
    ceritanya sangat inspiratif, setuju sama beberapa komen di atas, ditunggu kisah kasih eyang selanjutnya 😀

    Reply
  2. Ini cerita bapak ya…
    Aaah jadi ingat, kalau anak2 ditanya knp ulangannya hasilnya jelek? Semua pasti bilang “maaa gurunya nyebelin ..” hehehe

    Wilijeng milad, semoga barokah yuswana, sehat selalu ..aamiin.

    Reply
  3. Katanya kan hari ini ultah pak dokter
    Sempet ngerasain jaman penjajahan ya, kayaknya seusia bapak saya. Bulan ini juga kelahiran bapak saya.

    Bulan ini juga ultah putra pertama saya ( di surga). Bulan ini banyak yang ulang tahun ya,
    ya iyalah 😀

    Barakallah fi umrik pak 🙂
    Masak apa hari ini, pasti enak-enak nih 😀

    Reply
  4. Pasti ini kisah hidup njenengan sendiri. Hehehe. Semoga sehat2 dan tetep semangat ya Pak. Semangat bikin kue, masak dan menjahit baju untuk cucu 🙂

    Reply

Leave a reply to mmamir38 Cancel reply